Kamis, 15 September 2011

ASKEP PNEUMOTORAKS


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pneumotoraks didefinisikan sebagai adanya udara di dalam kavum/rongga pleura. Tekanan di rongga pleura pada orang sehat selalu negatif untuk dapat mempertahankan paru dalam keadaan berkembang (inflasi). Tekanan pada rongga pleura pada akhir inspirasi 4 s/d 8 cm H2O dan pada akhir ekspirasi 2 s/d 4 cm H2O.
Kerusakan pada pleura parietal dan/atau pleura viseral dapat menyebabkan udara luar masuk ke dalam rongga pleura, Sehingga paru akan kolaps. Paling sering terjadi spontan tanpa ada riwayat trauma; dapat pula sebagai akibat trauma toraks dan karena berbagai prosedur diagnostik maupun terapeutik. Pneumothorax berhubungan dengan berbagai macam kelainan paru meliputi emfisema, trauma, tuberculosis.
Dahulu pneumotoraks dipakai sebagai modalitas terapi pada TB paru sebelum ditemukannya obat anti tuberkulosis dan tindakan bedah dan dikenal sebagai pneumotoraks artifisial . Kemajuan teknik maupun peralatan kedokteran ternyata juga mempunyai peranan dalam meningkatkan kasus-kasus pneumotoraks antara lain prosedur diagnostik seperti biopsi pleura, TTB, TBLB; dan juga beberapa tindakan terapeutik seperti misalnya fungsi pleura, ventilasi mekanik, IPPB, CVP dapat pula menjadi sebab teradinya pneumotoraks (pneumotoraks iatrogenik). Ada tiga jalan masuknya udara ke dalam rongga pleura, yaitu:
1.      Perforasi pleura viseralis dan masuknya udara dan dalam paru.
2.      Penetrasi dinding dada (dalam kasus yang lebih jarang perforasi esofagus atau abdomen) dan pleura parietal, sehingga udara dan luar tubuh masuk dalam rongga pleura.
3.      Pembentukan gas dalam rongga pleura oleh mikroorganisme pembentuk gas misalnya pada empiema.
Kejadian pneumotoraks pada umumnya sulit ditentukan karena banyak kasus-kasus yang tidak di diagnosis sebagai pneumotoraks karena berbagai sebab. Johnston & Dovnarsky memperkirakan kejadian pneumotoraks berkisar antara 2,4-17,8 per 100.000 per tahun. Beberapa karakteristik pada pneumotoraks antara lain: laki-laki lebih sering daripada wanita (4:1); paling sering pada usia 20-30tahun.
Pneumotoraks spontan yang timbul pada umur lebih dan 40 tahun sering disebabkan oleh adanya bronkitis kronik dan empisema. Lebih sering pada orang-orang dengan bentuk tubuh kurus dan tinggi (astenikus) terutama pada mereka yang mempunyai kebiasaan merokok. Pneumonotoraks kanan lebih sering terjadi dan pada kiri.

BAB II
KONSEP DASAR
2.1 Definisi
Pneumotoraks adalah terdapatnya udara dalam rongga pleura, sehingga paru-paru dapat terjadi kolaps.
Pneumotoraks adalah adanya udara di dalam rongga pleural antara pleura parietal dan viseral.
Pneumotoraks merupakan keadaan emergensi yang disebabkan oleh akumulasi udara dalam rongga pleura, sebagai akibat dari proses penyakit atau cedera.
2.2 Anatomi
1. Anatomi Rongga Thoraks
Kerangka dada yang terdiri dari tulang dan tulang rawan, dibatasi oleh :
a.       Depan : Sternum dan tulang iga.
b.      Belakang : 12 ruas tulang belakang (diskus intervertebralis).
c.       Samping : Iga-iga beserta otot-otot intercostal.
d.      Bawah : Diafragma
e.       Atas : Dasar leher.
Isi :
- Sebelah kanan dan kiri rongga toraks terisi penuh oleh paru-paru peserta pembungkus
  pleuranya.
- Mediatinum : ruang di dalam rongga dada antara kedua paru-paru. Isinya meliputi jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar, oesophagus, aorta desendens, duktus torasika dan vena kava superior, saraf vagus dan frenikus serta sejumlah besar kelenjar limfe (Pearce, E.C., 1995).
2.3 Klasifikasi
  1. Berdasarkan terjadinya  yaitu :
a.       artificial           
             Udara lingkungan luar masuk ke dalam rongga pleura melalui luka tusuk atau pneumothoraks disengaja (artificial) dengan terapi dalam hal pengeluaran atau pengecilan kavitas proses spesifik yang sekarang tidak dilakukan lagi. Tujuan pneumothoraks sengaja lainnya ialah diagnostik untuk membedakan massa apakah berasal dari pleura atau jaringan paru. Penyebab-penyebab lain ialah akibat tindakan biopsi paru dan pengeluaran cairan rongga pleura.
b.      traumatic
             Masuknya udara melaui mediastinum yang biasanya disebabkan trauma pada trakea atau esophagus akibat tindakan pemeriksaan dengan alat-alat (endoskopi) atau benda asing tajam yang tertelan. Keganasan dalam mediastinum dapat pula mengakibatkan udara dalam rongga pleura melalui fistula antara saluran nafas proksimal dengan rongga pleura.
Barotrauma Pada Paru
Pneumotoraks dibagi menjadi Tension Pneumothorax dan non-tension pneumathorax. Tension. Pneumothorax merupakan medical emergency dimana akumulasi udara dalam rongga pleura akan bertambah setiap kali bernapas. Peningkatan tekanan intratoraks mengakibatkan bergesernya organ mediastinum secara masif ke arah berlawanan dari sisi paru yang mengalami tekanan. Non-tension pneumothorax tidak seberat Tension pnemothorax karena akumulasi udara tidak makin bertambah sehingga tekanan terhadap organ didalam rongga dada juga tidak meningkat.
Akumulasi darah dalam rongga toraks (hemotoraks) dapat menimbulkan masalah yang mengakibatkan terjadinya hemopneumotoraks.
c.       spontan.
Terjadi secara spontan tanpa didahului kecelakaan atau trauma. Timbul sobekan subpleura dari bulla sehingga udara dalam rongga pleura melalui suatu lubang robekan atau katup. Keadaan ini dapat terjadi berulang kali dan sering menjadi keadaan yang kronis. Penyebab lain ialah suatu trauma tertutup terhadap dinding dan fistula bronkopleural akibat neoplasma atau inflamasi. Pneumotoraks spontan dapat diklasifikasikan menjadi Pneumotoraks Spontan Primer dan Pneumotoraks Spontan Sekunder. Pneumotoraks Spontan Primer biasanya disebabkan oleh pecahnya bleb pada paru (sering terjadi pada pria muda yang tinggi kurus dan pada Marfan syndrome), sedangkan Pneumotoraks Spontan Sekunder seringkali terjadi akibat Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
  1. Berdasarkan lokasinya, yaitu Pneumotoraks parietalis, mediastinalis dan basalis
  2. Berdasarkan derajat kolaps, yaitu Pneumotoraks totalis dan partialis.
  3. Berdasarkan jenis fistel.
Pneumotoraks terbuka. Pneumotoraks dimana ada hubungan terbuka antara rongga pleura dan bronchus yang merupakan dunia luar. Dalam keadaan ini tekanan intra pleura sama dengan tekanan barometer (luar). Tekanan intra pleura disekitar nol (0) sesuai dengan gerakan pernapasan. Pada waktu inspirasi tekanannya negatif dan pada waktu ekspirasi positif (+ 2 ekspirasi dan – 2 inspirasi).
Pneumotoraks tertutup. Rongga pleura tertutup tidak ada hubungan dengan dunia luar. Udara yang dulunya ada di rongga pleura kemungkinan positif oleh karena diresorbsi dan tidak adanya hubungan lagi dengan dunia luar, maka tekanan udara di rongga pleura menjadi negatif. Tetapi paru belum mau berkembang penuh. Sehingga masih ada rongga pleura yang tampak meskipun tekanannya sudah negatif  (- 4 ekspirasi dan – 12 inspirasi).
Pneumotoraks ventil. Merupakan pneumotoraks yang mempunyai tekanan positif berhubung adanya fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Udara melalui bronchus terus ke percabangannya dan menuju ke arah pleura yang terbuka. Pada waktu inspirasi udara masuk ke rongga pleura dimana pada permulaan masih negatif. Pada waktu ekspirasi udara didalam rongga pleura yang masuk itu tidak mau keluar melalui lubang yang terbuka tadi bahkan udara ekspirasi yang mestinya dihembuskan keluar dapat masuk ke dalam rongga pleura, apabila ada obstruksi di bronchus bagian proksimal dari fistel tersebut. Sehingga tekanan pleura makin lama makin meningkat sehubungan dengan berulangnya pernapasan. Udara masuk rongga pleura pada waktu ekspirasi oleh karena udara ekspirasi mempunyai tekanan lebih tinggi dari rongga pleura, lebih-lebih kalau penderita batuk-batuk, tekanan udara di bronchus lebih kuat lagi dari ekspirasi biasa.

2.4  Etiologi dan patofisiologi

Normal tekanan negatif pada ruang pleura adalah -10 s/d -12 mmHg. Fungsinya membantu pengembangan paru selama ventilasi. Pada waktu inspirasi tekanan intra pleura lebih negatif daripada tekanan intra bronchial, maka paru akan berkembang mengikuti dinding thoraks sehingga udara dari luar dimana tekanannya nol (0) akan masuk bronchus sampai ke alveoli.
Pada waktu ekspirasi dinding dada menekan rongga dada sehingga tekanan intra pleura akan lebih tinggi dari tekanan di alveolus ataupun di bronchus sehingga udara ditekan keluar melalui bronchus.
Tekanan intra bronchial meningkat apabila ada tahanan jalan napas. Tekanan intra bronchial akan lebih meningkat lagi pada waktu batuk,bersin, atau mengejan, pada keadaan ini glottis tertutup. Apabila di bagian perifer dari bronchus atau alveolus ada bagian yang lemah maka akan pecah atau terobek..
Pneumotoraks terjadi disebabkan adanya kebocoran dibagian paru yang berisi udara melalui robekan atau pecahnya pleura. Robekan ini akan berhubungan dengan bronchus.
Pelebaran dari alveoli dan pecahnya septa-septa alveoli yang kemudian membentuk suatu bula di dekat suatu daerah proses non spesifik atau granulomatous fibrosis adalah salah satu sebab yang sering terjadi pneumotoraks, dimana bula tersebut berhubungan dengan adanya obstruksi emfisema.
Penyebab tersering adalah valve mekanisme di distal dari bronchial yang ada keradangan atau jaringan parut. Secara singkat penyebab terjadinya pneumotorak menurut pendapat “MACKLIN“ adalah sebagai berikut :
Alveoli disanggah oleh kapiler yang lemah dan mudah robek, udara masuk ke arah jaringan peribronchovaskuler apabila alveoli itu menjadi lebar dan tekanan didalam alveoli meningkat. Apabila gerakan napas yang kuat, infeksi, dan obstruksi endobronchial merupakan fakltor presipitasi yang memudahkan terjadinya robekan.
Selanjutnya udara yang terbebas dari alveoli dapat menggoyakan jaringan fibrosis di peribronchovaskuler kearah hilus, masuk mediastinum dan menyebabkan pneumotoraks atau pneumomediastinum.
2.5.  Gejala klinis
Keluhan : timbulnya mendadak, biasanya setelah mengangkat barang berat, habis batuk keras, kencing yang mengejan, penderita menjadi sesak yang makin lama makin berat.
Keluhan utama : sesak, napas berat, bias disertai batuk-batuk. Nyeri dada dirasakan pada sisi sakit, terasanya berat (kemeng), terasa tertekan, terasa lebih nyeri  pada gerakan respirasi. Sesak ringsn sampai berat, napas tertinggal, senggal pendek-pendek. Tanpa atau dengan cyanosis. Tampak sakit ringan sampai berat, lemah sampai shock, berkeringat dingin.
Berat ringannya keadaan penderita tergantung dari keadaan pneumotoraksnya :
Tertutup dan terbuka biasanya tidak berat, ventil ringan tekanan positif tinggi biasanya berat dan selain itu tergantung juga keadaan paru yang lain dan ada atau tidaknya obstruksi jalan napas.
Pada luka tembus dada, bunyi aliran udara terdengar pada area luka tembus. Yang selanjutnya disebut “sucking” chest wound (luka dada menghisap). Jika tidak ditangani maka hipoksia mengakibatkan kehilangan kesadaran dan koma. Selanjutnya pergeseran mediastinum ke arah berlawanan dari area cedera dapat menyebabkan penyumbatan aliran vena kava superior dan inferior yang dapat mengurangi cardiac preload dan menurunkan cardiac output. Jika ini tak ditangani, pneumotoraks makin berat dapat menyebabkan kematian dalam beberapa menit.
Peumotoraks spontan seringkali dilaporkan terjadi pada orang-orang muda dengan perawakan tinggi. Terutama pada laki-laki. Sebabnya tidak diketahui, diduga terdapatnya abnormlitas pada jaringan ikat (connective tissue). Beberapa pneumotoraks spontan disebabkan pecahnya “blebs”, semacam struktur gelembung pada permukaan paru yang pecah menyebabkan udara masuk ke dalam kavum pleura. Umumnya didahului oleh peningkatan tekanan intrapulmoner seperti: batuk keras, meniup alat-alat musik, bersin, mengejan, dan lain-lain.
Pneumotoraks juga dapat terjadi sebagai dampak prosedur medis, seperti pemasangan kateter vena sentral pada vena subklavia atau vena jugularis. Walaupun jarang terjadi, namun mengakibatkan komplikasi serius dan memerlukan penanganan yang segera. Penyebab lainnya termasuk akibat ventilasi mekanik, emfisema, dan penyakit paru lainnya (pneumonia).
Jika Suara napas menghilang melalui pemeriksaan stetoskop mengindikasikan bahwa paru tidak mengembang dalam rongga pleura. Perkusi dinding dada hipersonor. “coin test” positif .
Pneumotoraks pada trauma tumpul dada seringkali disebabkan oleh fraktur iga menusuk ke parenkim paru. Pnemotoraks dapat juga akibat deselerasi atau barotrauma pada paru tanpa berkaitan dengan patah iga. Di dalam praktek, banyak pasien dengan pneumotoraks traumatik juga mempunyai gejala perdarahan yang mengakibatkan hemopneumotoraks.
Jika tanda dan gejala meragukan, maka roentgen dada dapat dilakukan, tetapi pada keadaan hipoksia berat atau tension pneumothorax maka penanggulangan kedaruratan yang lebih diutamakan.
 2.6 Komplikasi
Atelektasis, ARDs, infeksi, edema pulmonary, emboli paru, efusi pleura, empyema, emfisema, penebalan pleura.
2.7 Pemeriksaan diagnostic
a.       X Foto dada :
1.      Pada foto dada PA terlihat pinggir paru yang kolaps berupa garis.
2.      Mediastinal shift dapat dilihat pada foto PA atau fluoroskopi pada saat penderita inspirasi atau ekspirasi.
3.      Pada ICS 5 atau 6 dilakukan pemasangan WSD dengan memakai trokar.
4.      WSD dilepas bila paru sudah mengembang dengan baik, tidak ada komplikasi dan setelah selang plastic atau diklem 24 jam untuk membuktikan bahwa pneumothoraks sudah sembuh.
5.      Bila penderita sesak dapat diberikan oksigen konsentrasi tinggi.
6.      Untuk megnobati nyeri dapat diberikan analgetika seperti Antalgin 3 X 1 tablet atau analgetik kuat.
7.      Fisioterapi dapat diberikan karena  dapat mencegah retensi sputum.
8.      Apabila pengembangan paru agak lambat, bias dilakukan penghisapan dengan tekanan 25-50 cm air.
9.      Pada pneumothoraks berulang dapat dilakukan perlekatan kedua pleura dengan memakai bahan yang dapat menimbulkan iritasi atau bahan sclerosing agent.
b.      Laboratorium (Darah Lengkap dan Astrup).

2.8  Penatalaksanaan
1.      Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :
a.    Diagnostik :
Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam shoks.
b.    Terapi :
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura. Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" dapat kembali seperti yang seharusnya.
c.    Preventive :
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" tetap baik.
2.      Perawatan WSD dan pedoman latihanya :
a.    Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.
Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien.
b.    Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat akan diberi analgetik oleh dokter.
c.    Dalam perawatan yang harus diperhatikan :
- Penetapan slang.
Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan tidak terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang dapat dikurangi.
- Pergantian posisi badan.
Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada slang, melakukan pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil mengangkat badan, atau menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera.
d.   Mendorong berkembangnya paru-paru.
1)   Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
2)   Latihan napas dalam.
3)   Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk waktu slang diklem.
4)   Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.
e.    Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi. Jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga secara bersamaan keadaan pernapasan.
f.     Suction harus berjalan efektif :
1)      Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan setiap 1 - 2 jam selama 24 jam setelah operasi.
2)      Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna muka, keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.
3)      Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika suction kurang baik, coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2 terlentang atau 1/2 duduk ke posisi miring bagian operasi di bawah atau di cari penyababnya misal : slang tersumbat oleh gangguan darah, slang bengkok atau alat rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena perlekatanan di dinding paru-paru.
g.    Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage.
1)      Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang keluar kalau ada dicatat.
2)      Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya gelembung udara yang keluar dari bullow drainage.
3)      Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara masuk yaitu meng"klem" slang pada dua tempat dengan kocher.
4)      Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol dan slang harus tetap steril.
5)      Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri, dengan memakai sarung tangan.
6)      Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada, misal : slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll.
h.    Dinyatakan berhasil, bila :
a. Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan radiologi.
b. Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.
c. Tidak ada pus dari selang WSD.
2.9  Terapi :
a. Antibiotika.
b. Analgetika.
c. Expectorant.

BAB III
KONSEP KEPERA
WATAN
3.1. Pengkajian keperawatan
  1. Riwayat keperawatan
Point yang penting dalam riwayat keperawatan :
1. Umur : Sering terjadi usia 18 - 30 tahun.
2. Alergi terhadap obat, makanan tertentu.
3. Pengobatan terakhir.
4. Pengalaman pembedahan.
5. Riwayat penyakit dahulu.
6. Riwayat penyakit sekarang.
7. Dan Keluhan.
Penyakit yang sering ditemukan adalah pneumotoraks, hemotoraks, pleural effusion atau empiema. Klien bisa juga ditemukan adanya riwayat trauma dada yang mendadak yang memerlukan tindakan pembedahan.
  1. Pemeriksaan Fisik
a.    Sistem Pernapasan :
Sesak napas. Nyeri, batuk-batuk. Terdapat retraksi klavikula/dada. Pengambangan paru tidak simetris. Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain. Pada perkusi ditemukan Adanya suara sonor/hipersonor/timpani , hematotraks (redup). Pada asukultasi suara nafas menurun, bising napas yang berkurang/menghilang. Pekak dengan batas seperti garis miring/tidak jelas. Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat. Gerakan dada tidak sama waktu bernapas. Takhipnea, pergeseran mediastinum. Adanya ronchi atau rales, suara nafas yang menurun.
b.    Sistem Kardiovaskuler :
Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk. Takhikardia, lemah. Pucat, Hb turun / normal. Hipotensi.
c.    Sistem Persyarafan :
Tidak ada kelainan.
d.   Sistem Perkemihan.
Tidak ada kelainan.
e.    Sistem Pencernaan :
Tidak ada kelainan.
f.     Sistem Muskuloskeletal - Integumen.
Kemampuan sendi terbatas. Ada luka bekas tusukan benda tajam. Terdapat kelemahan. Kulit pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi sub kutan.
g.    Sistem Endokrine :
Terjadi peningkatan metabolisme.
Kelemahan.
h.    Sistem Sosial / Interaksi.
Tidak ada hambatan.
i.      Spiritual :
Ansietas, gelisah, bingung, pingsan.
  1. Faktor perkembangan/psikososial
Klien mengalami kecemasan, ketakutan terhadap nyeri, prosedur atau kematian, karena penyakit atau tindakan. Persepsi dan pengalaman lampau klien terhadap tindakan  ini atau hospitalisasi akan mempengaruhi keadan psikososial klien.
  1. Pengetahuan klien dan keluarga
Pengkajian diarahkan pada pengertian klien tentang tindakan WSD, tanda atau gejala yang menimbulkan kondisi ini, tingkat pengetahuan, kesiapan dan kemauan untuk belajar.
  1. Pemeriksaan Diagnostik :
a.    Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
b.    Pa Co2 kadang-kadang menurun.
c.    Pa O2 normal / menurun.
d.   Saturasi O2 menurun (biasanya).
e.    Hb mungkin menurun (kehilangan darah).
f.     Toraksentesis : menyatakan darah/cairan,
3.2  Diagnosa Keperawatan :
  1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan.
  2. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
  3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
  4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
  5. Resiko Kolaboratif : Akteletasis dan Pergeseran Mediatinum.
  6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow drainage.
  7. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap trauma.
3.3  Intevensi Keperawatan :
  1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma.
Tujuan : Pola pernapasan efektive.
Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive. Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru. Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.
INTERVENSI & RASIONAL
1.    Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
R : Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
2.    Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
R : Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebgai akibat stress fifiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan hipoksia.
3.    Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
R : Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
4.    Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.
Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
5.    Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dengan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
R : Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
6.    Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 - 2 jam :
1) Periksa pengontrol penghisap untuk jumlah hisapan yang benar.
R : Mempertahankan tekanan negatif intrapleural sesuai yang diberikan, yang meningkatkan ekspansi paru optimum/drainase cairan.
2) Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada batas yang ditentukan.
R : Air penampung/botol bertindak sebagai pelindung yang mencegah udara atmosfir masuk ke area pleural.
3)   Observasi gelembung udara botol penempung.
R : Gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan lubang angin dari penumotoraks/kerja yang diharapka. Gelembung biasanya menurun seiring dnegan ekspansi paru dimana area pleural menurun. Tak adanya gelembung dapat menunjukkan ekpsnsi paru lengkap/normal atau slang buntu.
4)   Posisikan sistem drainage slang untuk fungsi optimal, yakinkan slang tidak terlipat, atau menggantung di bawah saluran masuknya ke tempat drainage. Alirkan akumulasi dranase bela perlu.
R : Posisi tak tepat, terlipat atau pengumpulan bekuan/cairan pada selang mengubah tekanan negative yang diinginkan.
5)   Catat karakter/jumlah drainage selang dada.
R : Berguna untuk mengevaluasi perbaikan kondisi/terjasinya perdarahan yang memerlukan upaya intervensi.
7.    Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
1)   Pemberian antibiotika.
2)   Pemberian analgetika.
3)   Fisioterapi dada.
4)   Konsul photo toraks.
R : Kolaborasi dengan tim kesehatan lain unutk engevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
  1. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Jalan napas lancar/normal
Kriteria hasil : Menunjukkan batuk yang efektif. Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal. pernapasan. Klien nyaman
INTERVENSI & RASIONAL
a.    Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan.
Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
b.    Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
R : Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan frustasi.
c.    Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
R : Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
d.   Lakukan pernapasan diafragma.
R : Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.
e.    Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
R : Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran sekresi sekret.
f.     Lakukan napas ke dua, tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.
R : Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.
g.    Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus, yang mengarah pada atelektasis.
h.    Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi.
R : Untuk menghindari pengentalan dari sekret atau mosa pada saluran nafas bagian atas.
i.      Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
R : Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
j.      Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
1)   Pemberian expectorant
2)   Pemberian antibiotika.
3)   Fisioterapi dada.
4)   Konsul photo toraks.
R : Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
  1. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
Tujuan : Nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil : Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi. Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/menurunkan nyeri. Pasien tidak gelisah.
INTERVENSI & RASIONAL
a.    Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasif.
R : Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
b.    Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase.
R : Akan melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi, sehingga akan mengurangi nyerinya.
c.    Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
R : Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.
d.   Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman; misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.
R : Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
e.    Tingkatkan pengetahuan tentang: sebab-sebab nyeri, dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.
R : Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya. Dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik
f.     Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik.
R : Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.
g.    Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam setelah tindakan perawatan selama 1 - 2 hari.
R : Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang obyektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.


BAB IV
Kesimpulan Dan Saran
4.1 Kesimpulan
Penumothoraks adalah adanya udara dalam rongga pleura yang diagnosis diyakinkan dengan pemerikasaan sinar tembus dada(1). Dimana diagnosis pneumothoraks tergantung kepada garis yang dibentuk pleura pada tepi paru-paru yang memisahkan dengan dinding dada, mediastinum atau diafragma oleh udara, dan juga tidak adanya bayangan diluar garis ini. Pneumothorax berhubungan dengan berbagai macam kelainan paru meliputi emfisema, trauma, tuberculosis.
Etiologi
1.    Tension pneumothorak-trauma dada pada selang dada, penggunaan therapy ventilasi mekanik yang berlebihan, penggunaan balutan tekan pada luka dada tanpa pelonggaran balutan.
2.    Pneumothorak tertutup-tusukan pada paru oleh patahan tulang iga, ruptur olehvesikel flaksid yang seterjadi sebagai sequele dari PPOM.
3.    Tusukan paru dengan prosedur invasif.
4.    Kontusio paru-cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda berat.
5.    Pneumothorak terbuka akibat kekerasan (tikaman atau luka tembak).
Pneumotoraks dapat diklasifikasikan sesuai dengan penyebabnya:
1.    Pneumotoraks Spontan (primer dan sekunder)
Pneumotoraks spontan primer terjadi tanpa disertai penyakit paru yang mendasarinya, sedangkan pneumotoraks spontan sekunder merupakan komplikasi dari penyakit paru yang mendahuluinya.
2.    Tension Pneumotoraks
Disebabkan trauma tajam, infeksi paru, resusitasi kardiopulmoner.
Patofisiologi
Pneumotoraks dapat disebabkan oleh trauma dada yang dapat mengakibatkan kebocoran / tusukan / laserasi pleura viseral. Sehingga paru-paru kolaps sebagian / komplit berhubungan dengan udara / cairan masuk ke dalam ruang pleura. Volume di ruang pleura menjadi meningkat dan mengakibatkan peningkatan tekanan intra toraks. Jika peningkatan tekanan intra toraks terjadi, maka distress pernapasan dan gangguan pertukaran gas dan menimbulkan tekanan pada mediastinum yang dapat mencetuskan gangguan jantung dan sirkulasi sistemik.
Tanda dan Gejala
1. Sesak napas berat.
2. Takipnea, dangkal, menggunakan otot napas tambahan.
3. Nyeri dada unilateral, terutama diperberat saat napas dalam dan batuk.
4. Pengembangan dada tidak simetris.
5. Sianosis.
Pemeriksaan fisik
1. inspeksi
2. palpasi
3. perkusi
4. alkustasi
Pemeriksaan diagnostic
1.    Sinar X dada: menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural; dapat menunjukan penyimpangan struktur mediastinal.
2.    GDA: variable tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengaruhi, gangguan mekanik pernapasan dan kemampuan mengkompensasi.
3.    Torasentesis: menyatakan darah / cairan sero sanguinosa
4.    Hb: mungkin menurun, menunjukkan kehilangan darah
Terapi
1.    Pneumotoraks Simpel
Merupakan pneumotoraks yang tidak disertai peningkatan tekanan intra toraks yang progresif.
Ciri:
• Paru pada sisi yang terkena akan kolaps (parsial atau total).
• Tidak ada mediastinal shift.
• PF: bunyi napas ↓ , hyperresonance (perkusi), pengembangan dada ↓.
Penatalaksanaan: WSD.
2.    Pneumotoraks Tension
Merupakan pneumotoraks yang disertai peningkatan tekanan intra toraks yang semakin lama semakin bertambah (progresif). Pada pneumotoraks tension ditemukan mekanisme ventil (udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak dapat keluar).
Ciri:
a.    Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi: kolaps total paru, mediastinal shift (pendorongan mediastinum ke kontralateral), deviasi trakhea → venous return ↓ → hipotensi & respiratory distress berat.
b.    Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu, hipotensi, JVP ↑, asimetris statis & dinamis.
c.    Merupakan keadaan life-threatening → tdk perlu Ro.
Penatalaksanaan:
1. Dekompresi segera: large-bore needle insertion (sela iga II, linea mid-klavikula).
2. Pemasangan WSD.
3.    Open Pneumothorax
Terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada dada sehingga udara dapat keluar dan masuk rongga intra toraks dengan mudah. Tekanan intra toraks akan sama dengan tekanan udara luar. Dikenal juga sebagai sucking-wound, terjadi kolaps total paru.
Penatalaksanaan:
1. Luka tidak boleh ditutup rapat (dapat menciptakan mekanisme ventil).
2. Pasang WSD dahulu baru tutup luka.
3. Singkirkan adanya perlukaan/laserasi pada paru-paru atau organ intra toraks lain.
4. Umumnya disertai dengan perdarahan (hematotoraks).
Pengkajian Keperawatan
1.    Aktivitas / istirahat
Gejala: Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat
2.    Sirkulasi
Tanda: takikardi, frekuensi tak teratur (disritmia), S3 atau S4 / irama jantung gallop, nadi apikal (PMI) berpindah oleh adanya penyimpangan mediastinal, tanda homman (bunyi rendah sehubungan dengan denyutan jantung, menunjukkan udara dalam mediastinum).
3.    Psikososial
Tanda: ketakutan, gelisah
4.    Makanan / cairan
Tanda: adanya pemasangan IV vena sentral / infuse tekanan.
5.    Nyeri / kenyamanan
Gejala: nyeri dada unilateral meningkat karena batuk, timbul tiba-tiba gejala sementara batuk atau regangan, tajam atau nyeri menusuk yang diperberat oleh napas dalam.
Tanda : Perilaku distraksi, mengerutkan wajah
6.    Pernapasan
Tanda: pernapasan meningkat / takipnea, peningkatan kerja napas, penggunaan otot aksesori pernapasan pada dada, ekspirasi abdominal kuat, bunyi napas menurun, fremitus menurun, perkusi dada : hipersonan diatas terisi udara, observasi dan palpasi dada : gerakan dada tidak sama bila trauma, kulit : pucat, sianosis, berkeringat, mental: ansietas, gelisah, bingung, pingsan.
Gejala: kesulitan bernapas, batuk, riwayat bedah dada / trauma : penyakit paru kronis, inflamasi / infeksi paru (empiema / efusi), keganasan (mis. Obstruksi tumor).
7.    Keamanan
Gejala: adanya trauma dada, radiasi / kemoterapi untuk keganasan.
Diagnosa dan Intervensi keperawatan
1.    Pola pernapasan tak efektif b.d penurunan ekspansi paru, gangguan musculoskeletal, nyeri, ansietas, proses inflamasi.
Ditandai : Dispnea, takipnea
. Perubahan kedalaman pernapasan. Penggunaan otot aksesori, pelebaran nasal. Gangguan pengembangan dada. Sianosis, GDA tak normal.
Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1 X 24 jam bersihan jalan napas klien efektif.
KH: Menunjukkan pola pernapasan normal / efektif dengan GDA dalam batas normal.
Bebas sianosis dan hipoksia
Intervensi:
a.    Mengidentifikasikan etiologi / factor pencetus ex : kolaps spontan, trauma, keganasan.
b.    Evaluasi fungsi pernapasan, catat kecepatan / pernapasan sesak, dispnea, terjadinya sianosis, perubahan tanda vital.
c.    Awasi kesesuaian pola pernapasan bila menggunakan ventilasi mekanik, catat perubahan tekanan udara.
d.   Auskultasi bunyi napas
e.    Catat pengembangan dada dan posisi trakea
f.     Kaji fremitus
g.    Kaji pasien adanya area nyeri tekan bila batuk, napas dalam.
h.    Pertahankan posisi nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur, anjurkan pasien untuk duduk sebanyak mungkin.

Rasional:
a.      Pemahaman penyebab kolaps paru perlu untuk pemasangan selang dada yang tepat.
b.      Distres pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stres fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia / perdarahan.
c.      Kesulitan bernapasn dengan ventilator atau peningkatan jalan napas diduga memburuknya kondisi atau terjadinya komplikasi (mis. ruptur spontan dari bleb, terjadinya pneumotoraks)
d.     Bunyi napas dapat menurun atau tak ada pada lobus, segmen paru, atau seluruh area paru (unilateral). Area atelektasis tak ada bunyi napas, dan sebagian area kolaps paru menurunya bunyinya. Evaluasi juga dilakukan untuk area yang baik pertukaran gasnya dan memberikan data evaluasi perbaikan pneumotoraks.
e.      Pengembangan dada sama dengan ekspansi paru. Deviasi trakea dari area sisi yang sakit pada tegangan pneumotoraks.
f.       Suara dan taktil fremitus (vibrasi) menurun pada jaringan yang terisi cairan / konsolidasi.
g.      Sokongan terhadap dada dan otot abdominal membuat batuk lebih efektif / mengurangi trauma.
h.      Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang sakit.
4.2  Saran
Hendaknya dalam memberikan tindakan medis pada pasien yang yang menderita Pneumothoraks, dilakukan secara tepat sesuai dengan prosedur yang berlaku. Agar penyakit ini bisa disembuhkan dengan baik. Perlu adanya kerjasama yang baik dari berbagai petugas medis.

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 1997. Nursing Diagnosis: Application To Clinical Practice. Philadelphia: J.B. Lippincott Company
Danusantoso, Halim. 2000. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Hipokrates
Hudak & Gallo. 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC
Price, Sylvia A dan Lorraine McCarty Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC
Michael AJ Sawyer.2008 Blunt Chest Trauma. Diakses dari http://www.emedicine.com
Wikipedia. 2008. Pneumothorax. diakses dari http://en.wikipedia.org
Wikipedia. 2008. Hemothorax. Diakses dari http://en.wikipedia.org
Carpenito, L.J. (1997). Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.
Doegoes, L.M. (1999). Perencanaan Keperawatan dan Dokumentasian keperawatan. Jakarta : EGC.
Hudak, C.M. (1999) Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.
Pusponegoro, A.D.(1995). Ilmu Bedah. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Doengoes, Marilynn, dkk, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I Made Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta.
Engram, Barbara, (1999), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa Suharyati S, volume 1, EGC,  Jakarta
Tucker, Martin dkk, (1999), Standar Perawatan Pasient,alih bahasa Yasmin Aih dkk, volume 4, edisi V, EGC, Jakarta.
Lab/UPF Ilmu Penyakit Paru, (1994), Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dokter Soetomo, Surabaya